Majelis Ulama Indonesia menegaskan bahwa hingga saat ini, baru ada dua vaksin di Indonesia yang telah bersertifikat halal. Fakta tersebut ditegaskan oleh MUI sebagai bentuk klarifikasi atas kabar yang beredar yang menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat tiga vaksin yang telah bersertifikat halal.
Kedua vaksin yang telah bersertifikat halal tersebut adalah dua jenis vaksin untuk penyakit meningitis. Hal tersebut disampaikan oleh Farid Mahmud, selaku Kepala Bidang Informasi Halal Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI.
“Benar, sampai saat ini, hanya ada dua vaksin yang sudah bersertifikat halal, yakni Menvac dari PT Jaswa International dengan masa berlaku 2 Agustus 2015 dan Menveo buatan Novartis dengan masa berlaku 15 juli 2016,” tutur Farid.
Selain kedua vaksin tersebut, sebenarnya ada satu vaksin lagi yang pernah memperoleh sertifikat halal, yaitu Mevac ACYW135 buatan Tianyuan, Tiongkok. Namun ketika masa berlaku sertifikat halalnya habis, produk ini tidak mengurus perpanjangan masa berlakunya.
“Benar, Mevac ACYW135 buatan Tianyuan pernah memiliki sertifikat halal, namun itu sudah lama, di tahun 2010. Setelah masa berlaku sertifikat halal habis, pihak produsen tidak lagi mengajukan peranjangan sertifikat halalnya,” ujar Farid.
Seperti halnya pada produk makanan, sertifikat halal pada vaksin juga mempunyai masa berlaku selama dua tahun, yang harus diperbaharui ketika masa berlakunya habis.
Dr. hamdan Rasyid, anggota Komisi Fatwa MUI menegaskan bahwa hukum Islam sangat mendukung adanya vaksinasi, sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit. Namun tentunya vaksin yang digunakan haruslah terbebas dari unsur haram dan najis, seperti dilansir dari health.detik.com.
“MUI mendukung vaksinasi sebagai uaya pencegahan penyakit. Kedua, sungguh pun demikian, vaksin yang digunakan harus yang halal, tidak mengandung najis, dan tidak ada unsur babi, juga unsur-unsur lain yang dilarang dalam Islam. Ketiga, kalau dalam kondisi darurat, tidak atau belum ada yang halal, maka diperbolehkan sementara menggunakan vaksin yang ada najisnya. Tetapi kebolehan itu hanya berlaku dalam keadaan darurat, dan harus ada upaya mencari vaksin yang halal.” tutur Hamdan.